“ Aku hanya tidak ingin masa lalu itu
diungkit-ungkit terus” kataku agak sedikit kesal. Tak ada jawaban dari lelaki
yang sedari tadi mematung dihadapanku ini. Dia tampak meneteskan air mata dan
serontak membuatku merasa perkataanku cukup kasar barusan. Dia menarikku
kepelukannya, tanpa berkata sedikitpun. Aku semakin bimbang kali ini. Apa yang
aku haruslakukan pada lelaki ini, lelaki yang dulu selalu ada disampingku, tapi
tidak pada saat kejadian itu.
******
Aku berlari secepat mungkin untuk
memberitahu kabar gembira ini pada ghibran, aku ingin dia juga merasakan
kebahagiaan yang aku rasakan saat ini. Tanpa melihat ada siapa dan apa saja
yang ada dihadapanku aku terobos itu semua demi memberitahu ghibran. Tapi tak
disangka aku berlari begitu teledor sehigga aku menabrak seorang pria jangkung
yang sedang membawa semangkuk mie ayam dari kantin.
“ Sorry ya, gue engga sengaja.”
Kataku sambil membersihkan mie yang menempel dibajunya. Lelaki itu hanya
tersenyum dan menghempaskan tanganku.
“ Sudah engga apa-apa,biar aku
saja,kelihatannya kamu lagi buru-buru.” Balasnya dengan nada santai ala prince
charming sekolahan. Tanpa mempedulikannya, aku buru-buru bangkit dari posisi
semula dan mulai berlari lagi sambil berkata.
“ Thanks ya, gue emang lagi buru-buru
banget.” Lelaki itu membalas dengan sesungging semyum manis miliknya.
Akhirnya sampai dikelas XI IPA 1,
kelasnya ghibran dan aku tentunya. Aku langsung duduk disebelah ghibran yang
sedang sibuk dengan karya ilmiah nya yang akan jatuh tempo pada esok hari.
Tanpa mempedulikannya yang sedang sangat serius, aku langsung memulai
pembicaraan yang sudah kutunggu dari tadi.
“ Baban.” Itu panggilanku pada
ghibran.
“ Heem ..” balasnya sambil terus
menarikan jari-jarinya diatas keybord laptop miliknya.
“ Sini liat aku dulu.” Kataku memaksa
kepalanya melihat kearahku. “ Loe tau engga ? gue kepilih jadi ketua pensi di
sekolah kita tahun ini loh.” Baban terlihat begitu kaget dengan ucapanku tadi.
“ Gue lagi engga mimpi kan ?”
tanyanya dengan polos, serontak aku mencubitkan cubitan kecil kearah perutnya.
“ Aww, sakit tau.”
“ Tuhkan, berarti loe engga lagi
mimpi.” Kataku enteng, ghibran langsung memelukku bangga.
Yah karna inilah impianku dan ghibran
saat pertama kali masuk SMA Harapan Bangsa. Terserah sih, mau aku ataupun
ghibran yang jadi ketuanya, karna itu sama saja. Tetap kita yang pegang kendali
penuh dalam acara ini.Saking senangnya entah berapa lama ghibran mendekap
tubuhku ini. Lalu kemudian berhenti, kita saling menatap dan tiba-tiba tertawa
bersama.
“ Okedeh bu ketu, karna loe kali ini
bisa jadi ketua pensi. Gue traktir loe makan sepuasnya dikantin. Masalah bayar
loe jangan khawatir, gue yang traktir semua yang loe makan.” Katanya dengan
bangga sembari menepuk dadanya.
“ Deal ya, loe engga boleh protes
tentang apapun yang gue pesen.” Kataku mencibir. Habis biasanya dia janji
mentraktir tapi ketika aku pesan dia selalu bilang ‘busyet banyak amat non,mau
ngerampok gue ya’ pasti kata-kata itu terucap.
“ Janji deh, kali ini gue engga bakal
protes. Dasar bocil.” Timpal ghibran sembari mengacak-ngacak rambutku yang
sudah tersisir rapih. Bocil itu julukan yang ghibran berikan padaku jika dia
sudah gemas sekali dengan tingkahku yang kadang diluar nalar manusia. Hahha
lebay sih ya, tapi itulah kenyataan nya.
*****
Di kantin ….
“ Mba ipah, saya pesan menu super
duper istimewa yah. Masing-masing satu dari tiap jenis, oh iya tambah teh manis
dingin yang aga banyak. Aku nyengir kearah ghibran yang sedang geleng-geleng
kepala memperhatikan tingkahku. Belom sempat dia bicara aku memotong nya.
“ Eh,tadi janjinya apa. Jangan
proteskan, jadi sekarang mending diem, sebelum aku cubit lagi nih.” Mataku
melotot kearah ghibran yang akhirnya tak jadi bicara.
Akhirnya pesananku datang juga,
dengan hati-hati mba ipah menaruh makanan itu diatas meja. Sambil senyum-seyum
sendiri melihat kearan ghibran. Oh iya aku sampai lupa memberitahu kalau mba
ipah ini fans beratnya ghibran loh. Dia tahu semua makanan yang disukai dan
tidak disukai ghibran. Pokoknya kalau udah dikantin ghibran itu mendapatkan
full servis deh dari mba ipah.
“ Mas Ghibran endak mau pesen toh?”
“ Nanti aja mba, abis si gentong ini
makan. Soalnya selera maan saya suka ilang kalau liat dia makan sebanyak ini.”
Ledek Ghibran padaku.
“ Yo wis, nanti kalau ada apa-apa
panggil saya saja ya mas.”
Aku sih tak mau memperdulikan
perkataan Ghibran tadi, karna saat ini aku sedang sangat lapar. Begitu semua
makanan telah tertata rapih diatas meja, aku langsung melahap semua itu dengan
semangat 45 milik para veteran kemerdekaan. Ghibran hanya bisa menatap dengan
pandangan yang sering dia arahkan padaku ketika saat seperti ini. Mungkin
dihatinya sedang berkata ‘mahluk apa yang ada dihapanku ini’ tapi hanya dalam
hati karna aku melarang dirinya protes.
Selagi aku menyantap hidangan mewah
ala kantin itu Ghibran hanya memainkan
handphone nya. Tapi tiba-tiba …
“ Hallo sob.” Sebuah suara menyapa
dari balik punggungku.
“ Hei, kenapa loe ada disini ? pindah
sekolah loe sob ?”
“ Yoi, bokap gue pindah tugas. Jadi
mau engga mau gue juga harus ikut kemanapun dia dan nyokap gue pergi.”
“ Hahaha, iya ya. Bokap loe kan emang
hobi banget pindah-pindah.”
Kedua lelaki itu terus berbincang
bincang, aku bisa menduga kalau mereka itu teman lama yang tak sengaja
dipertemukan kembali dalam satu sekolah yang ada aku juga didalamnya. Aku tak
memperdulikan kedua lelaki dihapanku, aku hanya peduli dengan makanan yang
sebentar lagi akan kusapu bersih ini. Merekapun sepertinya begitu, tak peduli
dengan aku karna sedang sibuk dengan pembicaraan mereka. Tapi tak disangka,
tiba-tiba obrolah mereka terhenti.
“ Loe kan, cewe yang tadi nabrak gue
?” kata lelaki itu menduga-duga. Aku hanya nyengir ketika dia menduga hal itu.
Karna sepertinya iya, lelaki yang berdiri dihadapan aku dan Baban ini memang
lelaki yang sama saat aku menabrak nya dan menumpahkan isi mangkuk penuh mie
ayam itu.
“ Dasar bocil, kebiasaan nya engga
ilang-ilang. Hobby banget nubruk orang yang engga punya salah sama loe. Udah
minta maaf belom loe sama si Raka ?”
“ Udah tadi, iya kan.” Kataku minta
pembelaan dari lelaki itu. Diapun menganggukkan kepalanya. Dan aku mencibir ke
arah Ghibran.
“ Kasian tuh, bajunya kotor begitu.
Gue dari tadi pengen nanya tapi engga enak, ternyata ulah loe.” Ghibran
menjitak kepalaku.
“ Aduh, kan gue udah minta maaf. Itu
juga engga sengaja, tadi gue buru-buru soalnya. Jadi engga liat kalau ada dia
lagi didepan gue.” Jelasku “ Pinjemin aja dulu baju loe, loe kan selalu punya
baju ganti di loker.” Aku menyuruh Ghibran.
“ Oh iya,bener juga. Eh iya ka,
kenalin nih temen gue yang rakus itu. Namanya …”
“
Fiolla ” aku memotong omongan Ghibran tadi.
“ Gue Raka” dia megulurkan tangan
dank u sambut uluran tangan nya.
“ Dasar bocil, tau aja loe sama yang
ganteng-ganteng”
“ Iya dong, gue kan punya radar.
Hahaha “ kami tertawa lepas saat itu. Aku langsung teringat satu hal.
“ Ayo buruan loe ganti baju. Ban
kasih dia pinjem dulu baju loe ya, kasian dia bajunya kotor begitu.”
“ Loe yang salah kenapa jadi gue yang
tanggung jawab.”
“ Baban, engga mungkin kan dia pake
baju punya gue. Apa kata anak-anak nanti.”
Raka hanya cekikikan melihat aku dan
Ghibran yang terus perang mulut tentang baju siapa yang harus dikenakan oleh
Raka. Akhirnya luluh juga hati Ghibran, diapun membawa Raka ke lokernya untuk
ganti pakaian. Dan aku langsung menuju kelas, karna sebentar lagi bel masuk
akan berbunyi. Setelah Raka selesai mengganti baju nya dengan baju milik
Ghibran, ternyata dia sekelas dengan aku juga. Aku senang sih, karna itu
berarti Ghibran aka nada teman lelaki lain selain si Dimas. Itu perkembangan
bagus menurutku, karna walaupun Ghibran punya banyak penggemar para wanita,
tapi dia sulit sekali dekat dengan seseorang.
“ Anak-anak,ibu akan memperkenalkan
murid baru pada kalian. Pindahan dari Jakarta, Raka silahkan perkenalkan
dirimu.” Perintah bu Martha
“ Hai semua, nama gue Raka Dhika
Diandra. Gue biasa dipanggil Raka, gue pindah ke Bandung karna papah saya
dipindah tugaskan.”
“ Nomor handphone loe berapa ?” salah
satu siswi putri nyeletuk
“ Huuuuu …” ledek siswa yang lain.
“ Sudah-sudah, Raka kamu bisa duduk
di bangku yang kosong.”
Letak bangku kosong itu persis berada
disamping Ghibran. Yah bangku itu kosong setelah Sukirman memutuskan untuk
pindah sekolah belum lama ini. Aku langsung menggodai Raka yang hanya terhalang
satu bangku dari bangku milikku.
“ Ciee, yang sudah punya banyak
penggemar.”
“ Apaan sih loe, biasa aja kali. Gue
aja yang banyak penggemar biasa aja.” Kata Ghibran menjawab ledekanku yang
ditujukan pada Raka.
“ Yee, gue engga ngomong sama loe
ban. Tapi sama Raka.”
“ Yaudah si yah, gue sama Raka tuh
kan satu paket. Iya engga ka.” Ghibran meminta pembelaan dari Raka yang kini
mulai banyak penggemar seperti dirinya.
“ Udah-udah, kalian nih sobatan tapi
kerjaan nya ledek-ledekan mulu. Mending kita ikutin pelajaran dulu, abis itu
kita ngobrol-ngobrol lagi. Gue juga pengen kenal lebih deket sama loe fio.”
Jawab Raka menghentikan perdebatan aku dan Ghibran yang tak begitu penting.
Mendengar perkataan Raka tadi, wajah
Ghibran berubah seketika. Entah apa yang membuat ekspresi wajahnya berubah
tiba-tiba seperti itu. Tapi ya sudahlah, nanti juga dia baikan lagi dengan
sendirinya.
Hari demi hari perlahan kami lewati
bersama. Aku mulai mengenal Raka lebih dalam, dan Rakapun mungkin sebaliknya.
Dan Ghibran, selalu membantuku melaksanakan pentas seni yang hanya tinggal 6
bulan lagi. Dia rela melakukan apapun demi membantuku, walaupun terkadang
banyak hal yang tidak kami duga dan membuatnya aga sedikit jengkel. Tapi itu
semua tak berlangsung lama. Karna Ghibran itu paling tidak bisa ngambek
lama-lama padaku. Itu juga yang menyebabkan dia selalu mengikuti apa yang aku
inginkan.
Semakin hari, semakin terlihat sosok
Ghibran yang perhatian dimataku. Seorang lelaki yang dilihat dari jauh begitu
dingin dan cuek, tapi begitu aku dekat dengan nya tak seburuk itu. Justru malah
sebaliknya. Dia begitu hangat dan penuh perhatian, itu yang selalu aku suka
dari Ghibran. Dia tak pernah marah padaku, biasanya dia hanya ngambek kecil
yang tak akan bertahan lebih dari dua jam. Hal itu pula yang menyeretku pada
sebuah jurang yang sangat curam, jurang antara persahabatan dan sebuah rasa
yang sering orang sebut itu cinta. Aku selalu berusaha agar rasa itu memang
bukan rasa cinta, melainkan rasa kasih saying sahabat kepada sahabat yang
lainya. Kenapa aku menekankan seperti itu, karna aku tak ingin persahabatan aku
dan Ghibran hancur begitu saja. Aku sudah sangat nyaman berda disisinya sebagai
seorang sahabat, tak lebih.
Sementara Raka, aku tak tahu mengapa.
Tapi semenjak tradegi waktu itu, Raka sangat perhatian padaku. Entah aku yang
ke geeran atau memang keadaan yang sebenarnya seperti itu. Kejadian ini terjadi
saat aku hendak mengambil barang yang akan kita pergunakan untuk keperluan
persiapan pentas seni yang semakin mendekati waktunya. Entah mengapa tiba-tiba
pitu gudang tertutup rapat, memang sih penjaga sekolah telah mewanti-wantiku
dari awal kalau pitu gudang itu sulit dibuka dari dalam. Tapi apa boleh buat,
pintu itu sudah tertutup rapat saat ini. Aku sangat takut saat itu, tapi aku
tak bisa melakukan apa-apa karena suaraku tak mungkin terdengar sampai ruang
osis. Karna jaraknya terlalu jauh.
Aku hanya bisa menangis dan sambil
sesekali meneriakan nama-nama orang yang aku ingat saat keadaan seperti ini.
Dan entah berapa kali aku selalu memanggil nama Ghibran dan Ghibran lagi. Walau
aku tahu, dia mana mungkin berani ke tempat segelap ini sendirian. Aku jauh
lebih berani ketimbang dirinya. Tapi aku terus memanggil nama Ghibran, dan
berharap dia datang menolongku layaknya superhero diacara televise yang biasa
ku tonton. Ketakutanku semakin menjadi saja ketika tiba-tiba terdengar suara
kardus terjatuh padahal aku tidak menyentuh nya, dan diruangan itu hanya ada
aku seorang diri. Aku menjerit sekencang-kencangnya, dan tak ku sangka ada
suara orang diluar sana. Cekeklek, suara pintu gudang memaksa dibuka. Ketika
sedikit terlihat orang yang akan menolong ku, aku langsung berlari kearahnya
dan memeluknya erat-erat. Aku sangat takut sekali saat itu, dan yang ada
difikiranku hanyalah Ghibran.
“ Ban, aku takut.” Kataku sambil
menangis dan mempererat pelukanku.
“ Ayo kita pergi dari sini.” Katanya
seraya menarik tubuhku menjauhi tempat itu. Aku terus menangis dalam
pelukannya, tanpa aku sadari siapa yang aku peluk itu. Dan ketika sampai
diruang osis, mataku terbuka dan aku mendapati sosok Ghibran sedang berdiri
dihapanku. Tanpa fikir panjang, aku langsung memeluk tubuhnya erat. Berarti
yang tadi aku peluk, aku menatap lelaki yang tadi menolongku. Ternyata yang
menolongku itu adalah Raka, bukan Ghibran. Aku memperkencang pelukanku pada
Ghibran yang terlihat sangat khawatir saat itu mendapati aku datang dengan
tangis tersedu-sedu.
“ Fio, loe tenang ya. Gue disini.” Kata
Ghibran mencoba menenagkan aku. Aku masih tak mengeluarkan suara sepatah
katapun. Ghibran mempererat pelukan nya sambil mengusap kepalaku. “ Udah,
jangan nangis lagi. Gue udah disini, dan gue janji engga bakal ninggalin loe
sendirian lagi kaya tadi. Gue bakal bawa loe kemanapun gue pergi, apapun yang
terjadi.” Ghibran menjanjikan hal itu karna dia sangat khawatir.
“ Loe kemana aja sih, dari tempat
sponsor aja lama banget. Untung aja pas loe engga ada gue sempet nyadar kalau
fio engga ada. Gue cari dia kemana-mana dan kata penjaga sekolah tadi fio
sempat minta dibukain pintu gudang. Dan langsung gue susul dia ke gudang,
soalnya udah lama dia engga nongol-nongol.” Jelas Raka pada Ghibran yang tak
tahu kronologis kejadian nya.
“ Thanks ya sob, loe udah nolongin
Fio tadi. Coba kalau engga, udah pingsan kali dia ada didalem gudang sendirian
tengah malem begini.” Kata Ghibran berterima kasih sekaligus meledekku.
“ Loe ini, gue udah kaya gini masih
aja di isengin.” Cubitku pada perut Ghibran yang selalu jadi sasaran kalau
sewaktu-waktu dia menyebalkan.
“ Yaudah, sekarang kita pulang aja
udah malem juga. Sekali lagi thanks ya ka loe udah bantuin gue jagain si
Bocil.”
“ Nyantai aja sob, itukan kewajiban
gue jagain cewe loe”
Aku melotot kearah Raka, karna aku
tak setuju dengan ucapan nya. Aku ini sahabat nya Ghibran tau. Dalam hatiku
menegaskan seperti itu.
“ Hehe, piece bos. Kan bercanda.”
Raka nyengir.
Aku membereskan barang-barang
milikku, dan milik Ghibran. Aku memasukan isi tas nya yang berserakan
dimana-mana. Setelah itu aku menyuruh kepada seluruh pengurus untuk pulang
terlebih dahulu dengan menumpang mobil milik Raka. Karna aku tak mau sampai
anak buahku kenapa-napa. Setelah semuanya pulang, Ghibran menggandeng tanganku
menuju tempat motornya diparkirkan. Aku bisa merasakan gandengan ini begitu
erat sekali, sampai aku tak tega melepaskannya. Ghibran menyalakan motor gede
milik nya, dan aku naik diboncengannya. Tak seperti biasanya, kali ini Ghibran
menarik tanganku untuk memeluk pinggangnya, dan dia meletakan tangan nya diatas
tangan ku yang melingkar disana. Entah mengapa, aku merasa nyaman sekali.
Berbeda seperti hari-hari sebelumnya, kini Ghibran sahabat ku terlihat sangat
manis memperlakukan ku. Aku meyenderkan kepalaku dipunggungnya, dan
mengencangkan peganganku. Aku terhanyut dalam boncengan motor Ghibran malam
itu.
Ditengah perjalanan, tiba-tiba
ghibran menghentikan laju motornya dan melepaskan jaket milik nya. Ternyata
dari tadi dia meraskan suhu dingin ditanganku, dia langsung memakaikan jaket
itu pada tubuh mungilku tanpa berkata sedikitpun. Ya Tuhan, apa ini memang
Ghibran sahabatku yang setiap hari selalu membuatku keki dengan ulahnya yang
usil ? atau ini jelmaan malaikat yang menyamar menjadi Ghibran Prasetyo. Ah,
aku tak peduli karna aku tak ingin malam ini berlalu begitu saja. Tanpa terasa
aku sudah sampai didepan rumah. Perasaan jarak rumahku ke sekolah itu sangat
jauh, tapi kenapa tadi terasa sangat dekat sekali. Apa karna aku terlalu
menikmati perjalanan ini.
Akupun turun dari motor gede warna
merah milik Ghibran. Dan melepas jaket milik nya.
“ Ban, makasih ya udah ater aku
pulang.” Kataku pada Ghibran. Ketika aku hendak masuk ke pintu gerbang. Ghibran
malah turun dari motor.
“ Fio, tunggu.” Kata Ghibran padaku.
Aku langsung menhentikan langkah kaki yang tadi berniat masuk pintu gerbang dan
berbalik kearah nya. Belum sempat aku menanyakan ada apa, Ghibran kembali
memeluk erat tubuhku seakan tak ingin melepas nya. Entah berapa menit peristiwa
itu terjadi, akhirnya Ghibran melepaskan pelukan nya dan mendaratkan satu
kecupan hangat dikeningku. Aku sangat terkejut, sampai mulutku ter nga-nga.
“ Udah sana tidur, istirahat yang
banyak. Jangan terlalu banyak fikiran, nanti yang ada kamu sakit. Kan aku juga
yang repot nantinya.” Ghibran memberi tahuku dengan nada dan ciri khasnya.
“ Iya-iya, siapa juga yang mau
ngerepotin kamu.” Kataku mencibir.
“ Bye, good night ya.” Itu kata-kata
terakhirnya sebelum iya mengendarai motor nya lagi. Dia melambaikan tangan
kearahku dan aku pun masuk kedalam rumah. Entah mengapa malam ini terasa begitu
istimewa ketimbang malam-malam sebelumnya.
Tapi beberapa minggu setelah itu
terjadi, bukan kedekatan ku dengan Ghibran yang semakin dekat. Tapi justru
sebaliknya. Entah kenapa Ghibran tiba-tiba menjauh dariku, jarang membantuku
untuk menyelesaikan tugasku yang seabrek. Dia begitu dingin dan tak menggubris
kehadiranku sama sekali. Sampai terjadi hal terburuk diluar dugaanku, dia
pindah tempat duduk. Aku semakin bingung dan bertanya-tanya, ada apa ini
sebenarnya kenapa Ghibran seperti itu. Apa dia marah padaku, tapi ku rasa tidak
mungkin. Karna dia paling tidak tahan marah terlalu lama padaku, paling lama
saja hanya 2 jam. Jadi sepertinya bukan, tapi apa yang menyebabkannya menjauh
dariku.
Aku bingung tak tahu harus bagaimana,
dan tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk membuat Ghibran kembali padaku.
Aku hanya bisa menangis menanggung semua ini sendirian. Karna biasnya
Ghibranlah yang aku ajak berbagi dengan segala kesedihan ini. Tapi kin dia tak
ada disampingku. Aku terus menangis sampai tak menyadari kalau ternyata ada
orang yang sedang duduk diseberlaku menemaniku dalam tangis ini.
“ Udah jangan nangis lagi, loe engga
sendirian ko. Gue bakal nemenin loe sampai Ghibran kembali lagi seperti semula.
Nih lap air matanya, kerjaan kita masih banyak. Dan pentas seni semakin dekat.
Semangat bu ketua.”
Aku tersenyum mendengar kata-kata
Raka tadi, setidaknya aku tidak benar-benar sendiri menghadapi pentas seni ini.
Walaupun Ghibran tak sepenuhnya angkat tangan, tapi aku jarang sekali
melihatnya ada diruang osis membantuku dan teman-teman yang lain. Sampai suatu
hari aku berpapasan dengan Ghibran, dan aku memberanikan diri untuk menanyakan
sebenarnya ada apa ini.
“ Ban, loe kenapa sih akhir-akhir ini
ngejauh dari gue.”
“ Engga apa-apa, gue bosen aja sama
loe. Dan sekarang gue udah punya cewe yang baik banget sama gue dan dia nyuruh
gue ngejauh dari cewe gatel kaya loe.”
Jleb, mendengar perkataan itu hatiku
terasa diiris-iris menggunakan pisau yang sangat tajam. Apakah orang ini memang
benar Ghibran sahabatku ? atau setan yang menyerupai Ghibran Prasetyo. Aku
sungguh tak percaya dengan semua ini.
“ Gue kira loe beda sama cowo lain,
ternyata sama aja.”
“
Terus kenapa, yah inilah gue. Kalau perubahan gue bikin loe engga nyaman
this your problem.”
Terang saja aku sangat sakit hati
dengan perkataan Ghibran yang satu itu. Kenapa ia tega sekali mengatakan hal
itu padaku, sahabatnya sendiri. Aku langsung berlari dengan kencangnya,
kemanapun aku sanggup untuk berlari. Sampai aku menabrak tubuh Raka yang kaget
melihatku berlinangan air mata.
“ Loe kenapa Fio ?” Tanya dia
penasaran.
Aku tak menjawab pertanyaan yang
diajukan Raka tadi, karna terlalu sulit menjelaskannya. Aku hanya menangis dan
terus menangis tanpa ada niat untuk berhenti.
“ Gue anter loe pulang ya, gue takut
kalau loe pulang dalam keadaan kaya gini ada orang jahat yang manfaatin ini
semua.” Raka menawarkan padaku yang ku jawab dengan anggukan kecil.
Aku belum bisa menghentikan tangis ku
selama perjalanan, karna terlalu sakit mendengar perkataan yang terluncur dari
sahabatku yang nyaris aku cintai.
*****
Pensi sekolah berjalan dengan lancar
dan sukses walaupun penuh dengan cucuran darah dan air mata yang telah ku
buang. Tapi aku puas dengan hasil yang cukup memuaskan ini. Setidaknya aku
cukup tegar menghadapi pensi tanpa Ghibran disampingku. Tapi ada sosok raka
yang setia menemaniku selagi kepergian Ghibran yang entah kapan akan kembali.
Aku sangat berterima kasih pada mu ka, tapi aku minta maaf karna aku tak bisa
membalas perasaan mu yang telah jatuh kepada hatiku. Karna perasaan ku telah
jatuh pada pria lain, tidak lain adalah pria yang telah menyakiti hatiku dengan
ucapannya yang setajam pedang. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan
belajar mencintai Raka sepenuh hatiku.
*****
Aku melepaskan pelukan Ghibran yang
sedari tadi memelukku. Aku mencoba menahan air mata yang letak nya sudah ada
diantara kedua kelopak mataku.
“ Lupakan semuanya Ban, aku sudah tak
mau ingat akan hal itu lagi. Terlalu sakit untuk mengingatnya.”
“ Fio, loe engga tau kejadian yang
sebenernya. Saat gue ngomong sama loe kalau gue udah punya pacar itu gue
bohong. Gue cuman pengen tahu apa reaksi loe sama gue, dan saat gue bilang
kalau gue udah bosen sama loe. Itu juga boong, karna sampai kapanpun gue engga
akan pernah bosen sama loe Fio. Gue lakuin itu semua karna gue udah ngelanggar
janji diri gue sendiri, kalau gue engga bakal nyentuh loe lebih sebelum loe
jadi istri gue. Tapi malem itu gue engga bisa nahan rasa yang salama ini gue
pendem sama loe. Gue bener-bener sayang sama loe, bukan sebagai seorang sahabat
tapi lebih dari itu. Dan gue engga bisa maafin diri gue sendiri. Gue minta
maaf.” Ghibran menjelaskan semuanya padaku yang terpaku mendengarkan dengan
seksama penjelasaan yang aku tunggu selama ini akhirnya datang tetapi disaat
yang tidak tepat.
“ Loe harus maafin diri loe sendiri
Ban, karna gue juga udah maafin loe jauh hari sebelom loe jelasin semua ini
sama gue. Dan gue udah pasti maafin loe.”
“ Jadi, kita bisa kaya dulu lagi.”
“ Engga Ban, semuanya udah terlambat.
Satu minggu lagi, hari pernikahanku dengan Raka. Dan aku sudah mengubur
kenangan kita dalam-dalam jauh didasar hati ini untuk menjadi kenangan terindah
dalam hidupku.” Kataku sambil menunjuk dada.
“ Kamu engga bercandakan Bocil ?”
“ Engga Ban, ini semua kenyataan yang
harus kita hadapi. Karna aku berjanji akan belajar mencintai Raka sebagaimana
dia sangat mencintaiku.”
“ Arrrgghh …..”
Ghibran meninju tembok dengan sangat
keras sampai terdengar suara dari sana. Dan sepertinya tembok itu agak sedikit
retak dibuatnya. Sepertinya dia sangat menyesal dengan tindakan yang dia
lakukan padaku. Tapi apa boleh buat, sebentar lagi aku akan menjadi Nyonya
Raka. Dan aku bukan anak SMA Harapan Bangsa lagi, seperti belasan tahun yang
lalu.
Bandung
16 September 2012
Mentari
Zulfa Fauziyyah